Powered By Blogger

Sabtu, 29 September 2012

Ghost Writer dan Jual Beli Skripsi di Kampus

Menulis adalah aktivitas ilmiah yang menjadi santapan sehari hari mahasiswa di perguruan tinggi. menulis tak ubahnya nafas yang senantiasa terus bersama jasad yang diberikan Tuhan sebagai "pelengkap" kehidupan. mungkin karena hal itulah insan akademik tersebut disebut kaum intelektual yang akan menjadi penerus generasi bangsa.
Mau tidak mau atau suka tidak suka , menulis adalah sebuah keharusan yang wajib dilakukan mahasiswa sebagai tugas untuk menyelesaikan SKS demi SKS di perguruan tinggi tempat mereka belajar. jika tidak, bersiap - siaplah dengan nilai yang tak bergeser dari C , bahkan D , sebagai ganjaran atas kelalaian mengerjakan tugas mata kuliah yang memang tak pernah lepas dari tugas makalah.
Tugas wajib yang diberikan dosen itulah yang membuat mahasiswa kalang kabut mengerjakan tugas. berbetah - betah diri di perpustakaan demi sebuah tugas yang bagii sebagian mahasiswa membuat pening kepala atau mereka cukup berselancar di dunia maya untuk mendapat referensi yang lebih praktis.
Parahnya, bukan hanya referensi yang dicari, tapi makalah "matang" yang sudah siap saji menjadi incaran mereka. Mahasiswa yang termasuk kalangan "canggih" dalam urusan internet tidak akan ambil pusing dengan tugas akademik yang memang cukup berat jika tidak dijalani dengan baik.
Demi lancarnya tugas dosen, mereka hanya tinggal copy paste makalah yang sudah "matang" tersebut. Lucunya, bahkan ada mahasiswa yang tanpa sengaja meng copy paste makalah dosennya sendiri untuk dikumpulkan sebagai tugas. Dengan adanya kasus itu, tentu bisa kita tebak bagaimana nasib si mahasiswa di depan dosennya ketika menyerahkan tugas dan mempresentasikannya di depan mahasiswa yang lain.
Kebiasaan tidak sehat tersebut sebenarnya berdampak buruk terhadap tugas - tugas mereka di masa mendatang, terutama yang bersentuhan dengan tulis - menulis.
Keahlian dan kecakapan dalam menulis adalah ilmu yang tidak bisa didapat secara instan dengan cara menyalin makalah dari internet. Tapi, dengan membiasakan diri berlatih menulis dan mengorganisasi pikiranlah keahlian itu akan datang.
Apalagi ketika waktunya mahasiswa tugas akhir sebagai syarat utama kelulusan pada jenjang strata satu (S1). hal itu bisa menjadi "hantu" menyeramkan yang menghampiri sebagian mahasiswa pada semester tinggi.
Logikanya, jika untuk tugas makalah yang hanya beberapa lembar itu mereka harus meminta bantuan "Mbah Google", bagaimana dengan skripsi yang tebalnya berkali - kali lipat dari makalah?
Sangat ironis jika itu terjadi dan menjadi kebiasaan yang tiada akhir di kalangan mahasiswa. Mungkin hal itulah yang membuat maraknya "rental skripsi plus - plus", sebuah rental yang tidak hanya menerima jasa pengetikan skripsi, tetapi lengkap menerima order skripsi dari berbagai jurusan.
Itu menjadi berkah tersendiri bagi para "ghost writer" skripsi yang memang siap lahir batin mengerjakan skripsi para pemesan. karena itu, hal tersebut menjadi ladang bisnis baru selain warung internet yang menjamur di lingkungan kampus.
Ghost Writer (GW) atau penulis bayangan merupakan istilah bagi para penulis yang menuliskan sebuah karya bagi orang lain yang menggunakan jasanya. Mereka mematok harga variatif, bergantung "susah" atau "gampang" nya pembahasan isi materi.
Di dunia penerbitan dan perbukuan, hal tersebut sudah biasa terjadi. Ada banyak alasan orang tersebut menjadi GW. Fenomena munculnya GW tidak terlepas dari 2 sisi yang saling melengkapi.
GW memiliki kemampuan menuangkan gagasan dan informasi ke dalam buku. sebaliknya, pemesan membutuhkan brand image untuk dikenal sebagai penulis buku, sedangkan dia tidak punya kemampuan menulis.
Seorang pendiri sebuah situs dan layanan skripsi menegaskan, ada juga mahasiswa yang hanya menjadikan mereka sebagai guide. Mereka yang menentukan judul skripsi, fokus kajian yang mereka pilih, sampai hal yang bersifat teknis. Tapi, para pemesan (mahasiswa) sendiri yang mencari data dan menuliskannya secara utuh. Karena itu, pendiri situs tersebut merasa tidak adil jika mereka disebut penjahat atau pelacur intelektual.
Terlepas dari "baik" atau "buruk" nya praktik para Ghost Writer skripsi, hal itu tetap menjadi fenomena memprihatinkan di dunia akademik. Meski ada yang menganggap GW bukanlah praktik kebohongan publik, sebuak karya ilmiah tetap menjadi kekayaan intelektual yang harus dipertanggungjawabkan. terutama bagi mahasiswa.
Mereka tidak hanya dituntut dapat mempresentasikan dan mempertanggungjawabkan skripsi produksi GW tersebut sehingga bisa lulus ujian. Tapi, juga tanggung jawab moral yang dipikul sebagai sarjana kelak setelah mereka lulus.


Inspired by : Pak Untung Wahyudi alumnus IAIN Sunan Ampel.

Kapitalisasi Pendidikan



kita pasti tidak asing lagi dengan yang namanya Ujian Akhir Sekolah (UAS), Ujian Nasional (UN). namun apabila ditelaah lebih mendalam dan dikritisi lebih radikal, program-program ini merupakan kapitalisasi pendidikan, mereka yang mempunyai kepentingan pribadi menjalankan program ini dengan dibungkus sedemikian cantik seakan-akan indah dalam kasat mata. namun apakah program seperti ini efektif? apakah program ini memberikan kontribusi positif untuk masyarakat pada umumnya?

mari kita tengok para lulusan SD, SMP, SMA maupun wisudawan S1, S2 maupun sudah bergelar DR alias S3, mereka dituntut untuk menjadi pekerja dengan diasupi berbagai macam soal-soal yang bersifat formalias dan akhirnya menjadi petaka bagi sistem pendidikan di indonesia. mereka seakan-akan sudah diproyeksikan hanya untuk menjadi PNS, buruh, maupun pegawai-pegawai yang hanya menjadi bahan suruhan kaum borjuis. pernahkah kita berfikir sperti itu? padaha Tuhan menciptakan manusia dengan derajat yang sama dan dengan keadaan fisik yang mayoritas tak ada yang berbeda.

mengapa sistem pendidikan di indonesia tidak menggunakan sistem enteurprenership, yakni memberikan peluang maupun potensi anak didikannya untuk menciptakan lapangan kerja maupun wira usaha yang secara tidak langsung akan memberikan kemandirian kepada anak didik di indonesia. bukan hanya sekedar menjadi "jongos" mereka-mereka kaum borjuasi. atau mungkin bisa menggunakan sistem formal dan non-formal, dalam artian guru memberikan ruang kepada anak untuk terbiasa mandiri dengan diskusi, presentasi maupun take and give antara murid dan guru, maka akan menjadikan suasana intelektualitas yang lebih bernuansa kekeluargaan yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsa.